Suara gemuruh datang dari bawah tanah. Rumah-rumah di Distrik Sarmi bergetar hebat, genteng berjatuhan, dan beberapa warga berlari keluar sambil memeluk anak-anak mereka. “Kami kira itu suara pesawat lewat, ternyata tanahnya yang goyang,” ujar Markus, warga Kelurahan Mararena, sambil menatap rumahnya yang kini retak di bagian dinding.
Pada Selasa sore, 20 Oktober 2025, Kabupaten Sarmi diguncang gempa berkekuatan 6,6 skala Richter. Pusat gempa berada di laut dengan kedalaman 10 kilometer, cukup dekat dengan pemukiman warga. Tak butuh waktu lama, kabar itu menyebar cepat ke seluruh distrik. Ratusan rumah dilaporkan rusak ringan hingga berat, dua warga luka-luka, dan jaringan listrik sempat padam.
Meski situasi mencekam, semangat gotong royong muncul spontan. Warga saling membantu membersihkan puing-puing, sementara petugas BPBD bersama aparat TNI dan Polri segera datang mengevakuasi warga ke lokasi aman. “Kami tidur di luar malam itu, takut ada gempa susulan,” cerita Yohana, seorang ibu rumah tangga yang tinggal tak jauh dari pesisir.
Pemerintah daerah langsung menetapkan status tanggap darurat dan membangun posko sementara. Air bersih dan makanan cepat saji menjadi kebutuhan utama. Di tengah keterbatasan, solidaritas antarwarga menjadi penguat. Anak-anak tetap bermain di halaman meski tenda pengungsian berdiri di belakang mereka.
Hingga hari ketiga, gempa susulan kecil masih terasa, namun warga mulai berani kembali ke rumah. Pemerintah kabupaten berjanji akan melakukan pendataan menyeluruh dan memperbaiki infrastruktur yang rusak. “Yang penting semua selamat dulu, rumah bisa dibangun lagi,” ujar seorang tokoh masyarakat dengan nada pasrah namun tegar.
Bagi masyarakat Sarmi, gempa ini bukan sekadar ujian alam, melainkan pengingat akan pentingnya kebersamaan. Di tengah guncangan bumi, justru ketenangan hati dan gotong royong menjadi penopang utama.
